Hujan

Mungkin sekarang memang sudah waktunya berganti musim
Hari mulai hujan terus
Didahului dengan langit hitam kelam
Ada sedikit rasa takut dalam diriku
Sendiri…
Kesepian…

Kemudian turunlah hujan
Manusia dengan sejuta kegagahannya
Menjadi tidak berarti apa-apa disaat hujan
Hanya bisa diam,
Mungkin merenung.
Banyak memori yang tiba-tiba keluar
Berloncatan disaat hujan
Sejuta kenangan yang tanpa permisi
Memenuhi seluruh isi Kepala
Perasaan-perasaan yang hanya di dapat
Pada saat hujan turun.
Hujan deras,
Ada yang memilih mencermati,
Mengagumi, membiarkan diri
Beristirahat sejenak dari hiruk pikuk dunia
Ada juga yang marah karena aktivitasnya terhenti.
Terputus dari sesuatu yang disebut dengan peradaban
Sebagian merasa takut,
Merasa hujan seperti badai yang menghampiri
Seluruh hidupnya.
Kadang seseorang merasakan ketiganya…
Tetapi Sore ini,
Entah mengapa hujan menjadi punya makna,
Selalu ada pelangi setelah hujan,
Awan selalu kembali cerah,
Anak kecil, tukang jualan, hingga para
Pekerja kembali memenuhi jalanan.
Hujan ternyata bukan untuk selamanya,
Kadang memang panjang,
Kadang teramat panjang.
Tapi semua itu kembali normal,
Masih ada kehidupan setelah hujan…
Masalah itu ibarat hujan,
Betapa pun berat,
Betapa pun sakit,
Menyesakan,
Membuat mual dan ingin muntah,
Suatu hari…
Pasti akan berakhir
Bersabar, menunggu, mungkin merenung.
Sambil menanti hujan usai
Tidak perlu menembus derasnya hujan,
Membiarkan diri bertambah sakit
Atau basah kuyup.
Sedikit lagi….
Matahari akan kembali bersinar.
Sedikit lagi…
Keceriaan akan kembali mengisi hari.
Sedikit lagi…

Leave a comment »

Mazhab cinta

aku bercerita tentang rasa
sengaja tak kubawa di dunia nyata
begitulah cinta,

menempuh gelombang adiwarna
bagai cemeti bergelatar di dada
begitulah cinta,

menempuh puncak puncak dosa
bagai jamuan yang datang dari surga
begitulah cinta,

wahai layla,
jadilah bumi dan aku matahari
kemudian diam dan berhenti

biarkan matahari yg mengitari bumi
karena aku bersaksi bahwa bumi adalah pusat semesta
bukan perkataan dungu yg berbicara matahari sebagai pusat semesta

kata ibrahim pada namrudz
terbitkanlah matahari dari barat
tak mungkin matahari diam

matahari tak dapatkan bulan
malam tak dahului siang
tak mungkin matahari diam

Eli katakan dalam kalam
Eli takdirkan mereka miliki garis edar
mungkinkah matahari diam?

wahai layla,
jadilah matahari dan aku bumi
rasuki amarah dan diamlah

wahai layla
jangan ragukan cintaku pada layla
tapi boleh kau ragukan cintaku pada Dia

wahai layla,
dirimu lebih dari secawan arak
biar, biar, biar kuanggap ini nira

ragaku hitam dan kini dihuni setan
meminta tumbal jiwa jiwa yg haus
melahap dosa dengan rakus

begitulah cinta……

ku tukar darussalam dengan layla
kubenamkan diri dalam dosa

begitulah cinta……

biar darussalam menjadi milik yang lain
tapi jangan jadikan cinta ini milik yg lain

begitulah cinta…….

ingin dicintai-Nya
tapi kuberikan cintaku pada layla

kuminta kasih-Nya
tapi kuberikan kasihku pada layla

jiwaku kosong tanpa layla
tapi pesta pora tak ada Dia di dada

cintaku nisbi
matikan syaraf dari rambut sampai ke jari kaki

ku pilih rasa rindu yg menyesakan dada
bukan rasa rindu yg menenangkan jiwa

kupilih rasa gelisah karena takut kehilangan layla
bukan gelisah memikirkan kumiliki neraka atau syurga

kupilih rasa amarah karena diabaikan layla
bukan amarah karena hidup tak sesuai dengan rencana sang pencipta

begitulah cinta……

bercerita tentang rasa
sengaja tak kubawa di dunia nyata

Leave a comment »

Sahabat

Pertama kali melihatnya, memang ada perasaan lain dalam hatiku. Tetapi aku tidak mau terburu-buru mengartikannya. Sebab aku pun belum tahu pasti, perasaan simpatikkah, atau malah jatuh cinta. Ah, yang terakhir mungkin tidak. Dan kalau bisa jangan, sebab saat ini aku sudah punya seseorang yang begitu aku sayangi.

Senyumnya, gaya berbicaranya, juga perilakunya tidaklah berbeda jauh dengan gadis-gadis lain yang sebaya dengannya. Ada suatu hal darinya, yang membuat hatiku bergetar tiap kali memandangnya. Sorot matanya, begitu dalam seakan menyimpan sejuta misteri. Itulah yang membuat aliran darah ‘sherlok holms’ ku mengalir kencang disertai dengan rasa penuh penasaran di dalam hati. Gerangan apakah misteri di balik sorot matanya yang indah itu?

“Joni.” Sapaku pertamakali saat kami bertemu.

“Lisa.” Balasnya sambil tersenyum.

“Dari kantor cabang mana?” Tanyaku melanjutkan pembicaraan.

“Aku dari kantor cabang Medan, kamu dari mana.” Balasnya

“Deket kok, dari jakarta sini. Senang berkenalan denganmu.”

“Terimakasih.”

Tak lama kemudian seorang instruktur masuk keruangan kami. Pada saat berkenalan itu kami sedang melakukan training bersama yang diadakan oleh kantor pusat tempatku bekerja. Setiap bulan sekali secara rutin, kami seluruh staff yang ada di kantor pusat dipertemukan dengan para staff dari kantor cabang secara bergantian dalam sebuah training inovasi. Kebetulan kami berdua berada dalam satu kelompok yang dibentuk oleh instruktur training.

Sehari penuh kami larut dalam presentasi-presentasi yang dibawakan oleh para instruktur secara bergantian. Penat dan lelah begitu menguasai, dan kami pun diberikan semacam permainan. Setiap kelompok berbaris sambil kemudian anggota yang berada di belakang memijat punggung temannya yang berada di depan. Kebetulan pas banget Lisa ada di belakangku, dan syurrr aku merasakan kelemburan jemari tangannya yang mulai mamijati punggungku. Hatikupun dag dig dug, akupun serasa ingin berlama-lama dipijatnya. Tapi tak lama kemidian tiba giliranku yang memijatnya, awal mula agak risih juga sih, tapi tak apa lah, toh aku akhirnya bisa merasakan ditanganku betapa lembut punggungnya.

Ketika sampai pada waktu akhir pertemuan, saatnya kami kembali ketempat masing-masing. Aku kembali ketempat kostku, sedang dia kembali ke hotel tempat rombongannya menginap. Sebelum kami berpisah, aku sempatkan meminta nomor HP-nya.

“Boleh minta nomor HP-nya, nggak?”

“Buat apa yah?” Jawabnya sedikit bercanda.

“Buat Emergency Call.” Balasku tak mau kalah.

“01553152xxx. No HP kamu berapa, miscall yah?”

“Ok, thanks.”

“Dah yah aku pulang, ga enak tuh teman-teman sudah nunggu.”

“Hati-hati di jalan ya, sampai ketemu lagi. Always keep contact ok.”

“Ok. Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Lama aku memandangi dia yang pergi kearah mobil jemputannya, untuk kemudian masuk ke dalam mobil hingga aku tak bisa lagi melihatnya. Aku tetap berdiri memandangi mobil itu yang beranjak pergi untuk perlahan-lahan kemudian menghilang dari pandanganku. Di dalam benakku masih saja terbayang akan pandangan matanya, seakan ada sesuatu yang mengganjal di lubuk hatinya. Tak lama kemudian aku pun beranjak pulang, hari mulai gelap.

Selamat malam!

***

Bersambung

 

Leave a comment »

Namanya Re

Re, sapaan akrab buatnya. Wajahnya begitu cute dan bersinar. Ringan bila ia melangkah, dan bagai seorang wanita tanpa dosa saat ia tersenyum. Tapi dulu waktu pertama kali aku bertemu, tak sampai sejauh ini perhatianku kepadanya. Saat itu, hariku sedang kelabu.
“Joni.” Ucapku setelah berjabat tangan saat berkenalan dengannya. Kemudian aku berlalu untuk kembali tenggelam dalam kesibukanku. Yah, hari-hari itu aku memang cukup sibuk dengan berbagai persoalan kantor dan juga urusan pribadiku.
Barulah setelah beberapa minggu berlalu, aku disadarkan oleh pertanyaan salah seorang seniorku. Akan betapa indahnya wajah itu.
“Joni, sebenarnya mata kamu itu sedang tertutup apa? Ada mutiara indah bersinar lewat di depanmu tapi kok kamu ngga melihat.” Seniorku Bu Rosma menegur.
“O ya, mutiara yang mana bu? Perasaan saya belum jalan-jalan kepantai atau kelaut dalam beberapa bulan ini.” Balasku pada Bu Rosma.
“Mmm, pura-pura ngga melihat atau memang kamu ngga lihat? Itu tuh anak baru.” Demikian goda Bu Rosma padaku.
“Memang ada apa, bu?” Balasku dengan bertanya.
“Si Re, anak baru itu. Kemarin dia bertanya sama sama saya, “bapak yang di meja sana serem ya bu, galak atau sombong?” Begitu katanya sambil menunjuk kearah meja kerjamu.” Jelas Bu Rosma kepadaku.
“O… dia .” Hanya kalimat itu yang aku katakan. Kemudian kulihat Bu Rosma tersenyum dan berlalu.
Aku bertanya dalam hati, apa gerangan maksud senyum Bu Rosma? Adakah ia memberi sinyal tertentu? Adakah itu sebuah dorongan darinya untukku mendekati dan mengenal Re lebih jauh? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Tak lama kemudian aku teringat wajah itu, senyum itu. Benar kata Bu Rosma wajahnya bersinar seindah mutiara dan juga senyumnya.. Manis.. Seakan tanpa ada dosa sedikitpun pada dirinya. Dan akhirnya aku pun bertekad untuk bisa mendekatinya. Bukan untuk menggodanya, tapi untuk menyayanginya.
Saat ini lebih dari delapan belas bulan aku sendiri, jomblo kata orang masa kini. Kejombloanku memang ngga begitu terasa, sebab aku selalu melarutkan diri dalam kesibukkanku. Tapi mulai hari ini entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa, begitu kesepiannya aku. Selalu sendiri melewati hari-hariku, sendiri bila aku ingin ke toko buku langgananku, sendiri bila aku makan siang di kedai mbah Man, atau sendiri saat malam dan hari minggu. Yah, delapan belas bulan berlalu. Kurasa cukuplah sudah buat kesendirianku.
“Kriiiing!” Jam dua belas siang sudah. Waktunya makan siang, ku longokkan kepala di jendela ruangan sebelah. Kucari senyum itu, kini aku pun siap senyumanku. Aku bertekad takkan lagi berwajah seram seperti kata Re pada Bu Rosma.
Deg, deg, deg. Jantungku berdegup cukup keras, sampai-sampai cicak yang ada di kaca jendela itu mungkin bisa mendengarnya. Begitu kulongokkan kepalaku di jendela pandangan mataku beradu dengan pandangan matanya yang indah. Bulat seperti bola pingpong, begitu kata Iwan Fals. Tapi kumeragukannya kalu ini cuma poin enam, sebab kurasa lebih. Wajah.. Bibir.. Juga matanya.. Poin tujuh bisa, bahkan bisa lebih kalu Re suka padaku. He.. He.. He.. Tawaku dalam hati.
“Maaf ada apa pak? Cari siapa?” Duh Gusti bibir indah itu bicara kepadaku, sekaligus membuyarkan lamunanku saat itu.
“Eh, anu. Maaf. Mmm maksud saya, saya cari kamu.” Aku bicara kapadanya dengan sedikit gugup. Maklum lah, sudah delapanbelas bulan lebih. Apa? Tau sendirilah.
“Cari saya pak, ada apa ya? Ada yang bisa saya Bantu?” Tanyanya ramah kepadaku.
“Begini, saya mau tanya. Apa Re sudah ada janji makan siang yang lain?” Tanyaku sedikit formal, biar kelihatan ‘jentel’.
“Belum, pak. Tapi, apa makan siang disini harus pakai janji?”
“Kalau begitu, mau kan saya traktir makan siangnya.” Kataku sedikit merayu tanpa menjawab pertanyaannya..
“Traktir? Dalam rangka apa nih pak?”
“Promosi warung Mbah Man buat orang baru, belum tau kan warung Mbah Man. Masakannya sedap lho.” Kilahku memberi alasan.
“Baik, saya mau.” Re menerima ajakanku sambil dia tersenyum. Manis.. Manis… jadi Koes Ploes dah.
Selamat makan siang!
***
“Kamu mau makan apa?” Tanyaku pada Re setelah kami mendapat tempat dan duduk di warung Mbah Man.
“Mmm..Apa ya? Makanan disini yang sedap apa?” Re balas bertanya.
“Menurutku makanan disini semuanya sedap, Mbah Man gitu lho. Tapi makanan paforitku disini adalah soto ayam, kamu mau juga?” Jelasku sambil bertanya.
“Boleh, aku juga suka soto ayam. Biar aku coba sesedap apa sotonya.” Ucapnya sambil tersenyum.
Duh Gusti Allah pangeran kula. Senyum itu manis sekali, dan menjadi sangat manis karena seyum itu untukku. Terimakasih Gusti, terimaksih.
“Kok bengong, pak?” Tegur Re buyarkan lamunanku lagi.
“Oh iya, maaf.” Ujarku terbata-bata.” Mbah, saya pesen soto ayam dua. Pakai bawang goreng dan kentang goreng, ngga pakai lama ya!” Pintaku pada Mbah Man.
“Lho kok sama ya, pak. Kesukaan saya juga kalau makan soto pasti pakai bawang dan kentang goreng.” Tanya Re padaku.
“Wah kebetulan ya, kita jodoh barangkali.” Rayuku padanya.
“Bapak bisa saja.” Balas Re seraya menampakkan air mukanya yang berubah menjadi kemerah-merahan karena tersipu rayuanku.
Sejurus kemudian sambil menikmati hidangan yang kami pesan, kami terlibat dalam pembicaraan yang seru dan hangat. Seputar tentang keadaan masing-masing, keluarga, hobi, dan lain-lain.
“Asal kamu dari mana, kalau saya dari jawa tapi lahir dan besar di Jakarta sini.” Aku mulai mengajukan pertanyaan pada Re.
“Saya asli Bandung, pak. Tapi saya juga besar di sini.”
“O ya, dimana itu?”
“Dikebun jeruk, dari kecil saya ikut kakak.”
“Saya lima bersaudara, laki-laki semua dan saya yang keempat. Kamu berapa bersaudara dan bagaimana?”
“Saya tiga belas bersaudara, laki-laki tujuh perempuan enam. Saya anak ketujuh.”
“Wah, kalu begitu kita sama lagi. Sama-sama keluarga besar. Nama ayah saya Prasetyo, ayahmu siapa namanya.”
“Ayah saya bernama Arswendo, sebenarnya ayah saya juga berasal dari jawa. Solo tepatnya, hanya ibu saya yang asli dari bandung.”
“Arswendo.. Apa Arswendo Atmowiloto penulis terkenal itu?” Candaku.
“Bukan, nama lengkap ayah saya Arswendo Prawirodirjo. Jadi saya bukan anak dari penulis terkenal itu kok. Hanya kebetulan nama depannya sama.”
Tak terasa waktu makan siang pun berlalu, begitu juga soto ayam sudah habis kami nikmati.Sampai akhirnya jam masuk kantorpun tiba.
“Yuk kita masuk kerja lagi.” Ajakku.
“Ayuk, by the way thanks yah soto ayamnya. Benar kata bapak ini soto paling sedap yang pernah saya cicipi.”
“Ok, you welcome. Jangan kapok ya makan bareng sama saya. Bagaimana, saya ngga serem kan?” Kataku sambil sedikit menggodanya.
“Lho bapak kok tau, saya jadi malu. Maaf yah pak, bukan maksud saya ingin menjelek-jelekan bapak.” Wajah Re begitu bersemu merahnya karena tersipu malu. Begitu putih warna kulit wajahnya, bersinar bak mutiara berkilau.
“Iya ga papa kok, saya yang seharusnya minta maaf sama kamu. Sebab dulu saya bersikap ngga ramah sama kamu.” Balasku sambil sedikit menghiburnya agar dia ngga terlalu tersipu malu.
“Selamat bekerja kembali yah, pak.” Re memberi salam perpisahan sesampainya kami di ruang kerja. Semoga perpisahan ini hanya untuk kali ini saja, bukan selamanya.
“Ok. Sampai ketemu lagi.” Ujarku sedikit penuh harap.
“Assalammualaikum.” Re memberi salam mengakhiri perjumpaan kali ini.
“Waalaikumsalam.” Jawabku.
Selamat Bekerja Kembali!
***
Hari berganti hari, tak terasa waktu itu sembilan bulan sudah sejak perkenalanku dengan Re. Semakin hari semakin akrab saja, demikian hubunganku dengan Re. Banyak orang mengira kalau kami pacaran. Tetapi sampai detik ini, belum ada komitmen yang pasti diantara aku dan Re. Pernah suatu ketika aku bertanya.
“Re, mau kan lu jadi pacar gue.” Tanyaku waktu itu, yang sudah berani ber’elu-gue’ dengan Re. Sesaat kemudian Re menjawab sambil tersenyum.
“Gue sayang sama lu. Tapi nanti yah jawabannya.”
“Sebenernya seberapa besar sayang lu buat gue. Sampai-sampai lu belum bisa jawab sekarang, kan kita sudah lama berteman dekat?” Desakku terus.
“Gue sayaaang banget sama lu Joni. Tapi, beneran deh gue lum punya jawaban buat lu. Gue lum siap.” Jawab Re sedikit mengelak.
Sejak saat itu aku cukup dibuatnya bingung. Aku ga tau sampai dimana rasa sayang Re kepadaku. Memang secara lahiriah, Re benar-benar terlihat tulus menyayangi aku. Dia begitu perhatian, sabar, bahkan selalu siap ada didekatku bila aku membutuhkan kehadirannya. Tapi kenapa Re belum juga punya jawaban buatku. Entahlah…
Satu dua bulan lewat, aku biarkan hatiku dalam kesabaran menunggu kepastian darinya. Hingga sampai malam itu, seminggu sebelum bulan puasa tiba. Aku kembali mempertanyakan jawaban akan kepastian hubungannya denganku.
“Re, sudah hampir setahun kita dekat.”
“Iyah, trus kenapa?”
“Mana jawaban lu, gue menunggu dan menunggu Re.”
Bukannyan menjawab tetapi Re malah diam, hanya bola matanya yang bulat nan indah itu terus memandangiku. Aku merasa sedikit ga enak, sebab seperti ada yang lain dalam pandangan itu. Seakan Re berat menimbang sesuatu. Beberapa kali terdengar dia menarik nafas dalam-dalam. Semua itu membuatku semakin ‘bad feeling’ saja. Setelah lebih kurang lima belas menit kami terdiam dan hanya saling pandang, akhirnya bibir indah itupun terbuka.
“Sebelumnya aku minta maaf yah.”
Aku, ya dia bilang aku. Kenapa tiba-tiba dia menyebut dirinya aku lagi, seperti saat baru kenal dulu. Kemana gue, kenapa ga dia sebut dirinya gue? Duh Gusti, what happen next!
“Selama ini mungkin aku begitu banyak merepotkan, dan maaf juga udah menunggu lama. Sebenarnya aku sangat sayang ssama kamu, Joni. Tapi, apa boleh buat. Menurut kakak, aku ga boleh pacaran.”
“Kenapa?” tanyaku dengan begitu penasarannya. Mengingat kakaknya begitu baiknya padaku.
“Agama kita melarangnya, Joni. Aku harap kamu bisa mengerti yah.”
“Ooo.” Hanya tiga huruf itu yang keluar dari mulutku saat itu.
Entah bagaimana perasaanku waktu itu. Hancurkah, atau leburkah? Yang jelas aku terdiam, larut dalam galau. Beberapa kali aku menarik nafas dalam-dalam, sambil terus memandangi wajahnya. Seakan semua ini akhir dari segalannya. The End Of Day. Bukan, Armageddon mungkin. Setelah lebih kurang sepuluh menit, aku berpamitan pulang. Karena sudah tak ada lagi kata-kata yang harus kuucapkan, sebab aku tidak ingin menggoyahkan keimanan akan agama dari seorang gadis yang sangat aku sayangi.
“Ok, kalau begitu gue pamit pulang dulu.” Kataku berpamitan.
“Joni, aku tahu kamu mungkin kecewa. Tetapi kita tetap bersahabat dan jangan memusuhi aku yah?” Pintanya dengan suara pelan. Seakan dia ingin menghiburku.
“Iya. Assalammualaikum.”
Hancurkah aku? Oh Joni… Joni. Ga jelas perasaanku waktu itu. Memang, sedikit terasa ada air mata yang memenuhi kelopak mataku. Lama kutermenung, dalam hati kuberkata ‘Re mungkin tak bisa kumiliki. Namun aku begitu menyayanginya. Biarlah, aku bisa terus dan terus menyayanginya sampai kapanpun. Meski Re tak pernah kumiliki.’
Tetap semangat dan jangan bersedih..!
***
Satu bulan lewat sudah sejak malam itu, meski masih sedikit galau aku tetap menjalani aktivitasku seperti biasa. Senin jumat kerja, sabtu minggu kuliah. Rutinitasku berjalan normal, hanya hatiku yang terasa seperti kehilangan sesuatu. Kosong.
Hari minggu sore jam empat lewat setengah, diatas sepeda motorku sepulang dari kampus aku menyaksikan suatu pemandangan yang sedikit mengganjal dan penuh tanda tanya dalam hatiku. Aku meihat Re diatas motor dan mendekap mesra seorang pria yang memboncengnya. Kuperhatikan pria itu, duh Gusti! Dia salah seorang temanku. Apa yang terjadi dengan Re? Bagaimana larangan agama yang ia sebutkan kepadaku? Sejuta plus seribu satu pertanyaan berseliweran di otakku. Aku menghentikan laju motorku, aku ga mau nabrak gara-gara otakku yang seakan lagi kram.
Keesokan harinya, dengan sedikit naluri kedetektifanku. Aku mencari tahu tentang hubungan Re dengan laki-laki itu.
“ Lho, lu ga tau Jon? Dia kan Cowoknya Re setelah putus sama lu tiga bulan yang lalu.” Jawab salah seorang teman Re yang aku tanya.
Cowoknya? Putus? Tiga bulan? Bukannya keputusan Re baru berselang sebulan, kurang malah. Lalu cowoknya, ah dia bilang ga boleh pacaran. Dilarang agama katanya?
“Ha..ha..ha. lu tu udah dibohongi dia, Joni. Makanya jadi cowok jangan kuper. Pinter-pinter cari tau mana cewek setia mana ngga.” Demikian ejek salah seorang temanku ketika aku bertanya perihal tingkah perbuatan Re terhadapku.
“Ooo.” Lagi-lagi hanya tiga huruf itu yang bisa aku ucapkan sambil mengelus dada. Sabar Joni, sabar. Semoga Tuhan nanti akan memberimu wanita yang lebih baik dan setia kepadamu. Amin.
Selamat tinggal Re! Semoga Tuhan memberi petunjuk dan jalan yang terang buatmu!
***

Leave a comment »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Comments (1) »